Selasa, 01 Maret 2011

Ambient Condition & Architectural Features

Berikut ini akan dipaparkan kedua kualitas lingkungan ini:

Ambient Condition

Rahardjani (1987) dan Ancok (1988) menyajikan beberapa kualitas fisik (ambient condition) yang mempengaruhi perilaku, yaitu kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan, dan warna. Berikut akan dipaparkan secara lebih jelas. 

Kebisingan, temperatur, dan kualitas udara
Ancok (1989): Keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Emosi yang semakin kurang dapat di kontrol akan mempengaruhi hubungan sosial  didalam maupun diluar rumah. Sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik dan ketegangan jiwa.
Rahardjani (1987): Kebisingan juga akan berakibat menurunnya kemampuan untuk mendengardan turunnya konsentrasi belajar pada anak. 

Kebisingan

Sarwono (1992): Terdapat tiga faktor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising, yaitu volume, perkiraan, dan pengendalian.
Dari faktor volume dikatakan bahwa suara yang makin keras akan dirasakan mengganggu. Suara kendaraan di jalan raya dari jarak 17 meter (70dB) sudah mulai mengganggu pembicaraan melalui telepon dan suara truk pengaduk semen, sementara dari jarak yang sama (90dB) tentunya akan lebih mengganggu.
Jikalau kebisingan dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur, kesan gangguan yang ditimbulkan akan lebih kecil dibandingkan jika suara tersebut datangnya tiba-tiba atau tidak teratur.
Faktor kendali amat terkait dengan perkiraan. Jika kita memutar musik cadas atau menyalakan gergaji mesin, kita tidak merasakannya sebagai kebisingan karena kita dapat mengaturnya sekehendak kita kapan suara itu kita perlukan. Akan tetapi bagi orang lain yang tidak menginginkannya, hal merupakan kebisingan yang amat mengganggu.

Holahan (1982): Membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi empat efek, tiga diantaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku.
Menurutnya, hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistemik yang secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Kebisingan dapat ditunjukkan dengan meningkatnya aktivitas elektrodermal. sekresi adrenalin, dan tekanan darah. Pada suatu tingkat tertentu, reaksi-reaksi fisiologis ini cenderung meningkat ketika kebisingan menjadi semakin intens, periodik dan tanpa kontrol. Ketika tingkat kebisingan tersebut sudah semakin menurun, seseorang boleh jadi menjadi teradaptasi dan terbiasa untuk melanjutkan kebisingan, walaupun tidak pada setiap orang.
Pada efek kesehatan, Holahan melihat bahwa kebisingan yang dibiarkan saja kita terima dalam intensitas tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang ternyata dapat menjadi peyebab kehilangan pendengaran yang berarti.
Pada efek perilaku, beberapa peneltian menunjukkan bahwa kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi hilangnya beberapa aspek perilaku sosial. 

Suhu dan Polusi Udara

Holahan (1982): TIngginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek, yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.

Rahardjani (1987): Melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: warna dinding dalam dan luar rumah, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni.

Pencahayaan dan Warna

Fisher dkk. (1984): Terdapat banyak efek pencahayaan yang berkaitan dengan perilaku. Pada dasarnya, cahaya dapat mempengaruhi kinerja, dengan cara mempermudah atau mempersulit penglihatan ketika kita mengerjakan sesuatu. Pada satu sisi, tidak adanya cahaya sama sekali akan membuat kita tidak mampu mengerjakan suatu tugas karena kita tidak dapat membacanya.

Seperti juga cahaya, warna juga dapat mempengaruhi kita secara langsung maupun ketika menjadi bagian dari suatu setting. Cahaya dan warna sulit untuk dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi. Bagaimana kita melihat warna akan sangat tergantung pada cahaya, Warna dapat juga menentukan seberapa baik pencahayaan suatu ruangan tampak oleh kita. Misalnya dibutuhkan lebih banyak iluminasi di ruangan hitam untuk mencapai tingkat pencahayaan yang sama efektifnya dengan ruangan yang berwarna kuning. Beberapa bukti mengungkapkan pula bahwa kemampuan visual tertentu dapat dipengaruhi oleh warna (Eastman dalam Fisher dkk., 1984). Berikut ini akan dibahas mengenai silau dan warna.
Silau. Peristiwa ini terjadi ketika suatu sumber cahaya yang lebih terang daripada tingkat penrangan yang normal, sehingga mata kita beradaptasi dengan cara menutupnya langsung seketika, ketika kita melihatnya. Contohnya adalah ketika kita melihat mobil yang berhadapan dengan kita pada malam hari (Holahan, 1982).
Warna. Sebagaimana halnya dengan pencahayaan, maka warna yang amat terang juga akan berpengaruh terhadap penglihatan. Area-area yang diberi warna terlalu terang di satu pihak menimbulkan kelelahan mata, juga akan menghasilkan bayangan yang mengganggu. Warna-warna yang terlalu kontras, selain mengganggu juga memberikan terlalu banyak penangkapan mata dan memberi kesan membingungkan (Lang, 1987).
Menurut Lang (1987) terdapat perkiraan untuk mempertimbangkan efek psikologis dari persepsi warna. Beberapa ahli percaya bahwa semua warna gelap memiliki efek ke arah depresif, sementara semua warna terang tampaknya membuat hidup menjadi lebih mudah, lebih gembira, dan lebih akrab. Beberapa warna tampaknya menjadikan ruangan menjadi lebih besar tanpa perlu melebarkan dinding dan beberapa warna lain memberikan kesan hangat.

Pencahayaan dan Warna di dalam Ruangan

Intensitas pencahayaan dan preferensi warna merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, meski di dalam preferensi warna seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh subjektivitas. Preferensi warna tersebut barangkali akan menjadi lebih baik apabila disertai dengan adanya pemahaman terhadap situasi yang lebih mendalam terhadap jenis ruangan apa yang akan dirancang. Pemahaman tersebut antara lain adalah besar kecilnya ruangan, fungsi ruangan, dan kejenuhan. 

Biru
Efek jarak: jauh
Efek suhu: dingin
Efek psikologis: sejuk; kalem, damai, menenangkan, lembut, aman, komfortabel, melankolis, kontemplatif, menekan, sedih, tenang, patut dihormati

Hijau
Efek jarak: jauh
Efek suhu: sangat dingin/ netral
Efek psikologis: sangat sejuk

Merah
Efek jarak: menutup (dekat)
Efek suhu: hangat
Efek psikologis: sangat mengganggu & mengecilkan; merangsang, menggembirakan, bertentangan, berlawanan, bermusuhan, panas, nafsu, aktif, kasar, intens, senang, kadang-kadang menyenangkan

Orange
Efek jarak: sangat menutup (sangat dekat)
Efek suhu: sangat hangat
Efek psikologis: menstimulasi

Kuning
Efek jarak: menutup
Efek suhu: sangat hangat
Efek psikologis: menstimulasi

Coklat
Efek jarak: sangat menutup
Efek suhu: netral
Efek psikologis: menstimulasi

Ungu
Efek jarak: sangat menutup
Efek suhu: dingin
Efek psikologis: agresif, mengecilkan, menghalang-halangi


Architectural Features

Disini akan dibahas dua unsur, yaitu unsur estetika dan pengaturan perabot.

Estetika

Pengetahuan mengenai estetika memberi perhatian kepada dua hal. Pertama, identifikasi dan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan menikmati karya yang menunjukkan estetika.

Spranger (dalam Ancok, 1988a) membagi orientasi hidup menjadi 6 kategori, dimana nilai estetis menjadi salah satu diantaranya selain nilai ekonomi, nilai kekuasaan, nilai sosial, nilai religius, dan nilai intelektual. Umumnya orang cenderung pada orientasi nilai ekonomis. Nilai estetika (nilai semi/ keindahan) tersebut dimiliki oleh setiap orang walaupun dalam kadar yang berbeda-beda. 

Menurut Fisher dkk. (1984) salah satu tujuan utama dari desain adalah memunculkan respon tertentu pada setting yang telah diselesaikan. Kualitas estetika memegang peranan penting dalam hal ini. Beberapa lingkungan menimbulkan kekaguman, sementara lingkungan yang lain memberikan kesan informal dan kenyamanan.

Arsitektur dan desain adalah bentuk seni. Kualitas estetis dari lingkungan yang dibentuk dapat sangat mempengaruhi seperti halnya keindahan alamiah. Masalahnya pertimbangan estetika seringkali bekerja berlawanan dengan pertimbangan perilaku. Beberapa struktur bangunan terindah yang pernah diciptakan juga merupakan struktur yang paling tidak praktis. Namun, kualitas estetis tidak dapat disingkirkan begitu saja karena kurang relevan dengan pengaruh desain terhadap perilaku. Terdapat bukti bahwa estetika penting pula dalam  penentuan perilaku.

Lingkungan yang menarik juga membuat orang merasa lebih baik. Penelitian Sherrod dkk. telah menunjukkan bahwa ruangan-ruangan yang didekorasi membuat orang merasa lebih nyaman daripada orang yang berada pada lingkungan yang tak terdekorasi. Juga, suasana hati yang baik berhubungan dengan lingkungan yang menyenangkan terlihat meningkatkan kemauan orang-orang untuk saling menolong satu sama lain (dalam Fisher dkk., 1984).

Perabot

Perabot, pengaturannya, dan aspek-aspek lain dari  lingkungan ruang dalam merupakan salah satu penentu perilaku yang penting. Pengaturan perabotan dalam ruang dapat pula mempengaruhi cara orang mempersepsi ruang tersebut. Beberapa penelitian bertujuan semata untuk memperkuat apa yang selama ini kita ketahui atau perkirakan keberadaannya. Misalnya, Imamoglu (dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Fisher dkk., 1984) menemukan bahwa ruangan yang kosong dipersepsikan lebih besar daripada ruangan dengan perabot, yang pada gilirannya dipersepsikan lebih besar daripada ruangan dengan terlalu banyak perabot. Imamoglu (dalam Heimstra dan McFarling, 1978) dalam penelitiannya itu meminta subjek penelitian untuk mengevaluasi kelemahan ruang pada ruang percobaan dan memberi perkiraan tentang perbandingan ukuran pada suatu perabotan ruang kantor. Ruang percobaan tersebut disajikan dalam tiga kondisi yang berbeda: kosong, dengan perabotan dengan jumlah normal, dan dengan perabotan berlebihan. Jumlah perabot dijadikan sebagai variabel bebas. Hasilnya ternyata mengikuti perkiraan umum dan mendukung hipotesis bahwa ketika perabotan diletakkan dalam suatu ruang, maka ruang akan terasa lebih kecil. Subjek cenderung menilai ruang percobaan sebagai ruang yang kurang lapang ketika ruangan dalam keadaan penuh perabot.

Hasil penelitian ini telah memverifikasi pengalaman umum yang dilaporkan mahasiswa yang mencari tempat tinggal di luar ruangan kampus-asrama dengan perabot tampak lebih kecil daripada asrama tanpa perabot, dan asrama tanpa perabot tampak lebih kecil ketika mahasiswa telah menempatinya.

Pengaturan perabot dapat digunakan untuk membantu mengatur perencanaan tata ruang arsitektur suatu setting. Pada kebanyakan konteks lingkungan, dinding, lokasi pintu, dan sebagainya sudah ditetapkan dan bagian-bagian ini sulit untuk dipindah-pindahkan. Sampai batas-batas tertentu elemen-elemen ini memang membentuk ruangan di dalam sebuah bangunan.


Sumber: Modul Psikologi Lingkungan (elearning)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar