Selasa, 12 April 2011

Stress Part 1

A. Pengertian Stress

First Definition: 
Stress adalah suatu kondisi yang dinamis saat seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang hasilnya dipandang tidak pasti dan penting. 

Second Definition:
Stress adalah beban rohani yang melebihi kemampuan maksimum rohani itu sendiri, sehingga perbuatan kurang terkontrol secara sehat.

Stres bisa positif dan bisa negatif. Para peneliti berpendapat bahwa stres tantangan, atau stres yang menyertai tantangan di lingkungan kerja, beroperasi sangat berbeda dari stres hambatan, atau stres yang menghalangi dalam mencapai tujuan. Meskipun riset mengenai stres tantangan dan stres hambatan baru tahap permulaan, bukti awal menunjukan bahwa stres tantangan memiliki banyak implikasi yang lebih sedikit negatifnya dibanding stres hambatan.

Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Menurut Korchin (1976) keadan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang.

B. Model Stress

Cox (dalam Crider dkk, 1983) mengemukakan 3 model pendekatan stres, yaitu sebagai berikut:

1. Response – based model
Stres model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit.



2. Stimulus – based model
Stres model ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimulus stres. Tiga karakteristik penting dari stimulus stres adalah overload, conflict dan uncontrollability.

3. Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari response – based model dan stimulus – based model.

Sumber:
Modul Psikologi Lingkungan (elearning)
http://id.wikipedia.org/wiki/Stres

Selasa, 05 April 2011

Privasi

1. Pengertian Privasi

Privasi adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi merupakan tingkat informasi keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada situasi atau kondisi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar dan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain.

Privasi dapat secara sukarela dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian. Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau kompetisi; seseorang memberikan detil personalnya (sering untuk kepentingan periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh lainnya adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri atau disalahgunakan seperti pada pencurian identitas.

Berikut ini adalah pengertian privasi menurut beberapa tokoh, diantaranya yaitu :
• Rapoport : Kemampuan untuk mengontrol interaksi memperoleh pilihan dan mencapai interaksi yang diinginkan.
• Altman : Proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri
sendiri dan akses kepad orang lain.
• Dibyo Hartono (1986) : Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan menyangkut keterbukaan atau ketertutupan , yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar di capai orang lain.
• Marshall : Pilihan untuk menghindari diri dari keterlibatan dengan orang dan lingkungan sosial.



2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Privasi

a. Faktor Personal
Menurut Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi.


b. Faktor Situasional
Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa kepuasan terhadap beberapa kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).

c. Faktor Budaya
Gifford (1987) memandang bahwa tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi.

3. Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku

Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari prilaku yang penting adalah untuk mengtur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial.
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam khidupan sehari-hari.
Westin (dalam Holahan , 1982) bahwa ketertutupan terhadap informasi yang personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain.

4. Privasi dalam Konteks Budaya

Perbedaan wilayah Geografis berdampak pada perbedaan privasi yang terdapat pada penduduk yang berada diwilayahnya. Di Amerika banyak orang menggunakan ruang-ruang tertentu seperti kamar tidur, kamar mandi dan ruang makan untuk menyendiri.


Sumber :
Modul Psikologi Lingkungan (elearning)
http://id.wikipedia.org/wiki/Privasi

Selasa, 29 Maret 2011

Teritorialitas

A. Pengertian Teritorialitas

Teritorialitas adalah istilah yang terkait dengan komunikasi nonverbal yang mengacu pada bagaimana orang menggunakan ruang untuk mengkomunikasikan kepemilikan / hunian dari wilayah dan kepemilikannya.

Holahan (dalam Iskandar, 1990): Teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.

Seperti yang dibahas pada blog sebelumnya, bahwa ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya (Sommer, dalam Altman, 1975)

"Lantas apakah perbedaan ruang personal dengan teritorialitas?"

Sommer & de War (1963) mengatakan bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.


B. Elemen-Elemen Teritorialitas

Lang (1987), mengemukakan empat karakter dari teritorialitas, yaitu:
1.) Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2.) Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu.
3.) Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.
4.) Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.

Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasi tiga kumpulan tingkat spasial yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
1. Personal Space, yang telah banyak dibahas sebelumnya (ruang personal).
2. Home Base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home Range, setting-setting perilaku yang yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.

Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu:
(1) Teritorial Primer
Jenis teritori yang dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Contoh: ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah negara, dsb.
(2) Teritorial Sekunder
Jenis teritori yang lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Contoh: sirkulasi lalu-lintas di dalam kantor, toilet, zona servis, dsb.
(3) Teritorial Umum
Jenis teritori yang dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat di mana teritorial umum itu berada. Contoh: taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dsb.

Privasi suatu lingkungan dapat dicapai melalui pengontrolan teritorial, karena didalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi:
1. Kebutuhan akan identitas, berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan, kebutuhan terhadap aktualisasi diri, yang pada prinsipnya adalah dapat menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat;
2. Kebutuhan terhadap stimulasi yang berkaitan erat dengan aktualisasi dan pemenuhan diri;
3. Kebutuhan akan rasa aman, dalam bentuk bebas dari kecaman, bebas dari serangan oleh pihak luar, dan memiliki keyakinan diri;
4. Kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya (Lang & Sharkawy dalam Lang, 1987).


C Teritorialitas dan Perbedaan Budaya

Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Teritorialitas pada setiap negara berbeda-beda tergantung dari budaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Sebagai contoh seorang Eropa datang dan berkunjung ke Asia dan dia melakukan interaksi sosial di ruang publik negara yang dikunjungi, ini akan sangat berbeda sikap teritorinya. Jenis kelamin juga mempengaruhi teritorialitas seeorang, dimana wanita memerlukan ruang yang lebih kecil dibandingkan pria. Selain itu penduduk desa lebih tinggi toleransinya dalam menentukan teritorialitasnya dibandingkan dengan penduduk yang tinggal diperkotaan.




Sumber: 
Modul Psikologi Lingkungan (elearning)

Selasa, 22 Maret 2011

Ruang Personal

A. Pengertian Ruang Personal

Ruang personal adalah daerah sekitar seseorang yang mereka anggap secara psikologis sebagai milik mereka. Invasi ruang personal sering mengarah pada ketidaknyamanan, kemarahan, atau kecemasan pada pihak korban.
Amygdala ditenggarai memproses reaksi kuat orang untuk pelanggaran ruang personal karena amygdala ada di orang-orang, dimana sudah rusak dan ini diaktifkan ketika orang secara fisik dekat.

Menurut para tokoh, terdapat beberapa pengertian ruang personal, yaitu:

Sommer (dalam Altman, 1975): Ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya.

Goffman (dalam Altman, 1975): Ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.

Edward T. Hall: Dalam interaksi sosial terdapat empat zona spasial yang meliputi: jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak publik.Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman, 1975). Empat zona tersebut adalah:
1. Jarak intim: (0-0.5m), jarak ini adalah jarak dimana kita hanya mengizinkan orang-orang yang terasa sangat dekat dengan kita untuk berada didalamnya. Biasanya kekasih/pasangan, orang tua, kakak/adik, dan sahabat dekat dapat memasukinya tanpa menimbulkan rasa risih.
2. Jarak personal: (0.5-1.3m), jarak ideal untuk percakapan antara 2 orang teman atau antar orang yang sudah saling akrab.
3. Jarak sosial: (1.3-4m), jarak yang biasa kita buat untuk hubungan yang bersifat formal, seperti: bisnis, pembicaraan dengan orang yang baru kita kenal, dsb.
4. Jarak publik: (4-8m), jarak untuk hubungan yang lebih formal seperti penceramah dengan hadirinnya. Paspampresnya amerika biasanya membuat ruang kosong selebar +/- 4m untuk menjaga pejabat penting.


B. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya

Hall (dalam Altman, 1976): Norma dan adat-istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruang (space)-nya, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal, dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya.
Dalam penelitiannya, orang Jerman lebih sensitif terhadap gangguan, memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar, dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Orang Inggris merupakan orang-orang pribadi (private people). Akan tetapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana-sarana verbal dan non-verbal dibandingkan dengan sarana fisik atau lingkungan. Orang-orang Perancis Berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakan bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.
 
Hall (dalam Altman, 1976): Kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, dimana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan nafas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi pada "kontak" dibandingkan dengan Eropa Utara dan kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan hal yang lazim dalam "budaya kontak".

Hall (dalam Altman, 1976): Orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadap populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersama-sama dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalam ruang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan alam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhidi antara semua rasa yang ada, menunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.


Sumber:
Modul Psikologi Lingkungan (elearning)

Selasa, 15 Maret 2011

Kesesakan

Seperti yang dipaparkan pada blog sebelumnya, kepadatan tidak akan terlepas dari kesesakan. Maka disini akan dipaparkan tentang kesesakan dalam psikologi lingkungan, sbb.:

A. Pengertian Kesesakan

Kesesakan adalah terisi hampir secara penuh, meninggalkan sedikit atau tidak ada ruang untuk bergerak; bergerak atau datang bersama-sama membentuk keramaian.

Sedangkan kesesakan menurut para tokoh, yaitu:

Altman (1975): Kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan yang lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. 

Altman (1975), Heimstra & McFarling (1978): Antara kepadatan dengan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. 

Heimstra & McFarling (1978); Holahan (1982): Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu.

Baum & Paulus (1987): Proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan 4 faktor:
a. Karakteristik setting fisik 
b. Karakteristik setting sosial 
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi

B. Teori-Teori Kesesakan

Bell dkk. (1978); Holahan (1982): Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu teori beban stimulus, kendala perilaku, dan teori ekologi.

1. Teori beban stimulus

Pendapat teori ini mendasarkan teori pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan.
Schmidt & Keating (1979): Stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Dimana berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti:
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra berinteraksi
e. Interaksi yang dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
Individu akan melakukan penyaringan atau pemilahan terhadap informasi yang berlebihan tersebut.

2. Teori ekologi

Micklin (dalam Holahan, 1982): Mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan oragnisasi sosial memegang peranan sangat penting.

Analisis terhadap setting meliputi:
a.) Maintenance minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu setting agar seuatu aktivitas dapat berlangsung. Contoh: Jumlah penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4x3meter bisa dipakai oleh anak-anaknya supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
b.) Capacity, yaitu jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh setting tersebut. Contoh: Jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan.
c.) Aplicant, yaitu jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu setting.

3. Teori kendala perilaku

Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt & Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan  bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya. 

Proshansky dkk. (1976): Pengaruh psikologis dari kesesakan yang utama adalah kebebasan memilih individu dalam situasi yang sesak. Dengan bertambahnya kehadiran orang lain menyebabkan gagalnya usaha yang dilakukan individu dalam mencapai tujuannya. Kesesakan terjadi bila kehadiran orang lain dalam suatu setting membatasi kebebasan individu dalam mencapai tujuannya.

Menurut Altman kondisi kesesakan yang ektrim akan timbul bila faktor-faktor dibawah ini muncul  secara simultan, yaitu:
a. Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari 3 faktor:
(1) Faktor-faktor situasional
(2) Faktor-faktor personal
(3) Kondisi interpersonal
b. Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stress, kekacauan pikiran, dan perasaan kurang enak badan.
c. Respon-respon pengatasan, seperti beberapa perilaku verbal dan non-verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stress atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.

C. Faktor Pengaruh Kesesakan


Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu personal, sosial, dan fisik.


Faktor Personal:
a.) Kontrol pribadi dan locus of control
b.) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi



Faktor Sosial:
a.) Kehadiran dan perilaku orang lain
b.) Formasi koalisi
c.) Kualitas hubungan
d.) Informasi yang tersedia

Faktor Fisik:

Altman (1975), Bell dkk (1978), Gove dah Hughes(1983): Adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaharui kesesakkan. Stessor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik setting. 

Faktor situasional tersebut antara lain :
(a) Besarnya skala lingkungan.
(b) Variasi arsitektural.

D. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku


*Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain.

*Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya.
*Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal).
*Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).
*Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
*Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
*Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)
*Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :
(a) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain;
(b) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih;
(c) kontrol pribadi yang kurang
(d) stimulus yang berlebihan.


Freedman (1975): kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.

Altman (1975) dan Watson dkk. (1984): kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.
  
Sumber: 
Modul Psikologi Lingkungan (elearning)
www.wordreference.com/definition/crowding

Senin, 07 Maret 2011

Kepadatan

Disini akan dipaparkan tentang kepadatan dalam psikologi lingkungan, sbb.:

A. Pengertian Kepadatan

Sundstorm (dalam Wrightsman & Deaux, 1981): Kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.

Holahan (1982); Heimstra & McFarling (1978); Stokols dalam Schmidt & Keating (1978): Kepadatan adalah sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik.

Sarwono (1992): Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya.

Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan.
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung)bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, bekerja sama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan.
Gifford (1978); Schmidt & Keating (1979); Stokols (dalam Holahan, 1982): Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis.

Altman (1975): Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut.

Altman (1975);Heimstra & McFarling (1979): Antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan.

Heimstra & McFarling (1978); Holahan (1982): Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu.


B. Kategori Kepadatan

Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, sebagai berikut:

Holahan (1982): Menggolongkan kepadatan ke dalam 2 kategori, yaitu:
1. Kepadatan spasial (spatial density), yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunya besar ruang.
2. Kepadatan sosial (social density), yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringin dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Altman (1975): Membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruangan atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar; dan kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1987): Setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.

Zlutnik & Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982): Menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu: 
(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan dalam yang rendah
(2) Wilayah desa miskin, dimana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah
(3) Lingkungan mewah perkotaan, dimana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi
(4) Perkampungan kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi

Taylor (dalam Gifford, 1982): Lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal.Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula.


C. Akibat-Akibat Kepadatan Tinggi

Rumah dan lingkungan pemukiman akan memberi pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya.
Taylor (dalam Gifford, 1982): Lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruangan yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menepatinya. 

Schorr (dalam Ittelson, 1974): Macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana.

Jain (1987): Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila dihuni oleh sejumlah besar individu umumnya akan menimbulkan pengaruh negatif pada penghuninya.
Hal ini dikarenakan dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu merasa tidak mampu mengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.

Holahan (1982): Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada di dalamnya.
Stokols (dalam Brigham, 1991): Stressor lingkungan merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit, atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat.

Heimstra & McFarling (1978): Kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial, maupun psikis.
Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.
Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja.
Akibat secara psikis antara lain:
1. Stress, kepadatan tinggi dapat menimbulkan perasaan negatif, rasa cemas, stress, dan perubahan suasana hati
2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
3. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal
4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu
5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi

Di pemukiman padat, individu umumnya akan dihadapkan pada keadaan yang tidak menyenangkan. Disamping keterbatasan ruang, individu juga mengalami kehidupan sosial yang lebih rumit. Keadaan padat ini memungkinkan individu tidak ingin mengetahui kebutuhan individu lain di sekitarnya tetapi lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingannya serta kurang memperhatikan isyarat-isyarat sosial yang muncul.

Salah satu akibat negatif yang terjadi sebagai respon individu terhadap sressor lingkungan seperti lingkungan padat yaitu menurunnya intensi prososial individu. Penelitian-penelitian tentang hubungan kepadatan dan perilaku prososial di daerah perkotaandan pedesaan telah banyak dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan Milgram (1970) ditemukan bahwa orang yang tinggal di kota sedikit dalam memberi bantuan dan informasi bagi orang yang tidak dikenal daripada orang yang tinggak di daerah pedesaan. Begitu pula dalam mengizinkan untuk menggunakan telepon bagi orang lain yang memerlukan (Fisher, 1984).


D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Koerte (dalam Budiharjo, 1991): Faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat-istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan lain-lain, akan sangat menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk., 1994): Pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan, karena mereka pada umumnya mampu "mengendalikan" rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.

Mana yang benar? Pendapat Koerte atau Epstein?

Hasil penelitian Anderson (dalam Budiharjo, 1991): Komunitas tradisional etnis Cina di Hongkong, Singapura, dan penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideologi nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus di bawah satu atap yang sama, telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara-suara bising dari anak-anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu, atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari negara-negara Timur tidak segan-segan untuk menyewakan kamar-kamar di dalam rumahnya untuk disewakan kepada orang lain, demi memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan justru mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interaksi sosial.

Gambaran lain diungkap oleh Setiadi (1991): Bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negatif yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku sosial, pembunuhan, perkosaan, dan tindak kriminal lainnya. Sementara itu, di Jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000 orang/Ha pada bagian kota-kota tertentu, ternyata angka kejahatan/kriminal disana masi lebih rendah. 


Sumber: Modul Psikologi Lingkungan (elearning)




Selasa, 01 Maret 2011

Ambient Condition & Architectural Features

Berikut ini akan dipaparkan kedua kualitas lingkungan ini:

Ambient Condition

Rahardjani (1987) dan Ancok (1988) menyajikan beberapa kualitas fisik (ambient condition) yang mempengaruhi perilaku, yaitu kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan, dan warna. Berikut akan dipaparkan secara lebih jelas. 

Kebisingan, temperatur, dan kualitas udara
Ancok (1989): Keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Emosi yang semakin kurang dapat di kontrol akan mempengaruhi hubungan sosial  didalam maupun diluar rumah. Sampah, polusi, dan debu adalah sumber penyakit fisik dan ketegangan jiwa.
Rahardjani (1987): Kebisingan juga akan berakibat menurunnya kemampuan untuk mendengardan turunnya konsentrasi belajar pada anak. 

Kebisingan

Sarwono (1992): Terdapat tiga faktor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising, yaitu volume, perkiraan, dan pengendalian.
Dari faktor volume dikatakan bahwa suara yang makin keras akan dirasakan mengganggu. Suara kendaraan di jalan raya dari jarak 17 meter (70dB) sudah mulai mengganggu pembicaraan melalui telepon dan suara truk pengaduk semen, sementara dari jarak yang sama (90dB) tentunya akan lebih mengganggu.
Jikalau kebisingan dapat diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur, kesan gangguan yang ditimbulkan akan lebih kecil dibandingkan jika suara tersebut datangnya tiba-tiba atau tidak teratur.
Faktor kendali amat terkait dengan perkiraan. Jika kita memutar musik cadas atau menyalakan gergaji mesin, kita tidak merasakannya sebagai kebisingan karena kita dapat mengaturnya sekehendak kita kapan suara itu kita perlukan. Akan tetapi bagi orang lain yang tidak menginginkannya, hal merupakan kebisingan yang amat mengganggu.

Holahan (1982): Membedakan pengaruh kebisingan terhadap kinerja manusia menjadi empat efek, tiga diantaranya adalah efek fisiologis, efek kesehatan, dan efek perilaku.
Menurutnya, hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa kebisingan secara fisiologis dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistemik yang secara khusus dapat diasosiasikan dengan stres. Kebisingan dapat ditunjukkan dengan meningkatnya aktivitas elektrodermal. sekresi adrenalin, dan tekanan darah. Pada suatu tingkat tertentu, reaksi-reaksi fisiologis ini cenderung meningkat ketika kebisingan menjadi semakin intens, periodik dan tanpa kontrol. Ketika tingkat kebisingan tersebut sudah semakin menurun, seseorang boleh jadi menjadi teradaptasi dan terbiasa untuk melanjutkan kebisingan, walaupun tidak pada setiap orang.
Pada efek kesehatan, Holahan melihat bahwa kebisingan yang dibiarkan saja kita terima dalam intensitas tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang ternyata dapat menjadi peyebab kehilangan pendengaran yang berarti.
Pada efek perilaku, beberapa peneltian menunjukkan bahwa kebisingan yang tidak disukai telah mempengaruhi hilangnya beberapa aspek perilaku sosial. 

Suhu dan Polusi Udara

Holahan (1982): TIngginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek, yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.

Rahardjani (1987): Melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: warna dinding dalam dan luar rumah, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni.

Pencahayaan dan Warna

Fisher dkk. (1984): Terdapat banyak efek pencahayaan yang berkaitan dengan perilaku. Pada dasarnya, cahaya dapat mempengaruhi kinerja, dengan cara mempermudah atau mempersulit penglihatan ketika kita mengerjakan sesuatu. Pada satu sisi, tidak adanya cahaya sama sekali akan membuat kita tidak mampu mengerjakan suatu tugas karena kita tidak dapat membacanya.

Seperti juga cahaya, warna juga dapat mempengaruhi kita secara langsung maupun ketika menjadi bagian dari suatu setting. Cahaya dan warna sulit untuk dipisahkan, karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi. Bagaimana kita melihat warna akan sangat tergantung pada cahaya, Warna dapat juga menentukan seberapa baik pencahayaan suatu ruangan tampak oleh kita. Misalnya dibutuhkan lebih banyak iluminasi di ruangan hitam untuk mencapai tingkat pencahayaan yang sama efektifnya dengan ruangan yang berwarna kuning. Beberapa bukti mengungkapkan pula bahwa kemampuan visual tertentu dapat dipengaruhi oleh warna (Eastman dalam Fisher dkk., 1984). Berikut ini akan dibahas mengenai silau dan warna.
Silau. Peristiwa ini terjadi ketika suatu sumber cahaya yang lebih terang daripada tingkat penrangan yang normal, sehingga mata kita beradaptasi dengan cara menutupnya langsung seketika, ketika kita melihatnya. Contohnya adalah ketika kita melihat mobil yang berhadapan dengan kita pada malam hari (Holahan, 1982).
Warna. Sebagaimana halnya dengan pencahayaan, maka warna yang amat terang juga akan berpengaruh terhadap penglihatan. Area-area yang diberi warna terlalu terang di satu pihak menimbulkan kelelahan mata, juga akan menghasilkan bayangan yang mengganggu. Warna-warna yang terlalu kontras, selain mengganggu juga memberikan terlalu banyak penangkapan mata dan memberi kesan membingungkan (Lang, 1987).
Menurut Lang (1987) terdapat perkiraan untuk mempertimbangkan efek psikologis dari persepsi warna. Beberapa ahli percaya bahwa semua warna gelap memiliki efek ke arah depresif, sementara semua warna terang tampaknya membuat hidup menjadi lebih mudah, lebih gembira, dan lebih akrab. Beberapa warna tampaknya menjadikan ruangan menjadi lebih besar tanpa perlu melebarkan dinding dan beberapa warna lain memberikan kesan hangat.

Pencahayaan dan Warna di dalam Ruangan

Intensitas pencahayaan dan preferensi warna merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, meski di dalam preferensi warna seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh subjektivitas. Preferensi warna tersebut barangkali akan menjadi lebih baik apabila disertai dengan adanya pemahaman terhadap situasi yang lebih mendalam terhadap jenis ruangan apa yang akan dirancang. Pemahaman tersebut antara lain adalah besar kecilnya ruangan, fungsi ruangan, dan kejenuhan. 

Biru
Efek jarak: jauh
Efek suhu: dingin
Efek psikologis: sejuk; kalem, damai, menenangkan, lembut, aman, komfortabel, melankolis, kontemplatif, menekan, sedih, tenang, patut dihormati

Hijau
Efek jarak: jauh
Efek suhu: sangat dingin/ netral
Efek psikologis: sangat sejuk

Merah
Efek jarak: menutup (dekat)
Efek suhu: hangat
Efek psikologis: sangat mengganggu & mengecilkan; merangsang, menggembirakan, bertentangan, berlawanan, bermusuhan, panas, nafsu, aktif, kasar, intens, senang, kadang-kadang menyenangkan

Orange
Efek jarak: sangat menutup (sangat dekat)
Efek suhu: sangat hangat
Efek psikologis: menstimulasi

Kuning
Efek jarak: menutup
Efek suhu: sangat hangat
Efek psikologis: menstimulasi

Coklat
Efek jarak: sangat menutup
Efek suhu: netral
Efek psikologis: menstimulasi

Ungu
Efek jarak: sangat menutup
Efek suhu: dingin
Efek psikologis: agresif, mengecilkan, menghalang-halangi


Architectural Features

Disini akan dibahas dua unsur, yaitu unsur estetika dan pengaturan perabot.

Estetika

Pengetahuan mengenai estetika memberi perhatian kepada dua hal. Pertama, identifikasi dan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan menikmati karya yang menunjukkan estetika.

Spranger (dalam Ancok, 1988a) membagi orientasi hidup menjadi 6 kategori, dimana nilai estetis menjadi salah satu diantaranya selain nilai ekonomi, nilai kekuasaan, nilai sosial, nilai religius, dan nilai intelektual. Umumnya orang cenderung pada orientasi nilai ekonomis. Nilai estetika (nilai semi/ keindahan) tersebut dimiliki oleh setiap orang walaupun dalam kadar yang berbeda-beda. 

Menurut Fisher dkk. (1984) salah satu tujuan utama dari desain adalah memunculkan respon tertentu pada setting yang telah diselesaikan. Kualitas estetika memegang peranan penting dalam hal ini. Beberapa lingkungan menimbulkan kekaguman, sementara lingkungan yang lain memberikan kesan informal dan kenyamanan.

Arsitektur dan desain adalah bentuk seni. Kualitas estetis dari lingkungan yang dibentuk dapat sangat mempengaruhi seperti halnya keindahan alamiah. Masalahnya pertimbangan estetika seringkali bekerja berlawanan dengan pertimbangan perilaku. Beberapa struktur bangunan terindah yang pernah diciptakan juga merupakan struktur yang paling tidak praktis. Namun, kualitas estetis tidak dapat disingkirkan begitu saja karena kurang relevan dengan pengaruh desain terhadap perilaku. Terdapat bukti bahwa estetika penting pula dalam  penentuan perilaku.

Lingkungan yang menarik juga membuat orang merasa lebih baik. Penelitian Sherrod dkk. telah menunjukkan bahwa ruangan-ruangan yang didekorasi membuat orang merasa lebih nyaman daripada orang yang berada pada lingkungan yang tak terdekorasi. Juga, suasana hati yang baik berhubungan dengan lingkungan yang menyenangkan terlihat meningkatkan kemauan orang-orang untuk saling menolong satu sama lain (dalam Fisher dkk., 1984).

Perabot

Perabot, pengaturannya, dan aspek-aspek lain dari  lingkungan ruang dalam merupakan salah satu penentu perilaku yang penting. Pengaturan perabotan dalam ruang dapat pula mempengaruhi cara orang mempersepsi ruang tersebut. Beberapa penelitian bertujuan semata untuk memperkuat apa yang selama ini kita ketahui atau perkirakan keberadaannya. Misalnya, Imamoglu (dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Fisher dkk., 1984) menemukan bahwa ruangan yang kosong dipersepsikan lebih besar daripada ruangan dengan perabot, yang pada gilirannya dipersepsikan lebih besar daripada ruangan dengan terlalu banyak perabot. Imamoglu (dalam Heimstra dan McFarling, 1978) dalam penelitiannya itu meminta subjek penelitian untuk mengevaluasi kelemahan ruang pada ruang percobaan dan memberi perkiraan tentang perbandingan ukuran pada suatu perabotan ruang kantor. Ruang percobaan tersebut disajikan dalam tiga kondisi yang berbeda: kosong, dengan perabotan dengan jumlah normal, dan dengan perabotan berlebihan. Jumlah perabot dijadikan sebagai variabel bebas. Hasilnya ternyata mengikuti perkiraan umum dan mendukung hipotesis bahwa ketika perabotan diletakkan dalam suatu ruang, maka ruang akan terasa lebih kecil. Subjek cenderung menilai ruang percobaan sebagai ruang yang kurang lapang ketika ruangan dalam keadaan penuh perabot.

Hasil penelitian ini telah memverifikasi pengalaman umum yang dilaporkan mahasiswa yang mencari tempat tinggal di luar ruangan kampus-asrama dengan perabot tampak lebih kecil daripada asrama tanpa perabot, dan asrama tanpa perabot tampak lebih kecil ketika mahasiswa telah menempatinya.

Pengaturan perabot dapat digunakan untuk membantu mengatur perencanaan tata ruang arsitektur suatu setting. Pada kebanyakan konteks lingkungan, dinding, lokasi pintu, dan sebagainya sudah ditetapkan dan bagian-bagian ini sulit untuk dipindah-pindahkan. Sampai batas-batas tertentu elemen-elemen ini memang membentuk ruangan di dalam sebuah bangunan.


Sumber: Modul Psikologi Lingkungan (elearning)